Akhir akhir ini Jember diguyur rintik hujan. Rintik yang seperti tak
hendak berhenti. Kadang kadang bahkan turun dengan deras disertai angin.
Alhasil, banjir seakan mengetuk pintu beberapa sudut kota kecil Jember.
Dua hari yang lalu saya sempat menuju lokasi banjir di daerah Jember
bagian selatan, tepatnya di daerah Wonoasri. Saya melihat bagaimana cara
para korban bencana banjir mengatasi sendiri apa yang mereka hadapi.
Dalam tiga hari, mereka tergenang banjir. Tidak bisa keluar rumah, akses
menjadi sangat terbatas, tapi mereka tetap harus menghadapi hidup.
Kondisi itu tentu saja membuntut pada beberapa hal. Diantaranya adalah
potensi penyakit yang siaga mengintai. Setidaknya, mereka akan kesulitan
mendapatkan air bersih. Dari kesulitan mendapatkan air bersih ini,
penyakit seperti batuk batuk (influensa) dan gatal mudah sekali
menyerang.
Saya istirahat di rumah seorang warga yang juga korban banjir (rumah
keluarga Mak Ti). Lokasinya ada di dalam wilayah perkebunan PTP 12 Kotta
Blater Jember. Jaraknya dengan wilayah Taman Nasional Meru Betiri juga
tidak jauh. Dengan kata lain, mereka adalah stakeholder Taman
Nasional. Menurut penuturan si empunya rumah, mereka mendapat bantuan
berupa makanan dan obat obatan dari pihak desa, dan mendapat kunjungan
dari pihak TN dan perkebunan.Entah, ini kunjungan resmi atau hanya
empati dari beberapa karyawan saja, saya tidak tahu pasti.
Dalam sebulan ini, mereka sudah kebanjiran lebih dari sekali. Ada kalau
enam sampai tujuh kali. Tapi, melihat dari kondisi rumah yang siap packing,
sepertinya mereka sudah siap menghadapi bencana yang satu ini. Benar
saja, setelah saya tanyakan, ternyata menurut penuturan si empunya
rumah, mereka sudah sangat lama sekali berteman dengan banjir
(setidaknya sejak era tahun 90 an).
Jangan kaget bila anda berkunjung ke daerah Wonoasri Jember, di ruang
tamu anda akan melihat ban dalam (biasanya ban dari kendaraan besar)
yang sudah terisi angin, loteng darurat (hanya berupa papan di atas
ruang tamu) dan lemari lemari kayu yang sudah terikat oleh tali tampar
(diharapkan agar saat air menggenang, perabot yang di ikat ini tidak
roboh, karena isinya adalah barang pecah belah).
Sejatinya, yang dibutuhkan oleh para warga bukanlah bantuan sembako plus
obat obatan dan kunjungan. Lebih dari itu, mereka hanya ingin
penyelenggara negeri ini (teristimewa pemerintah daerah) untuk segera
menangani masalah penghentian aliran air supaya banjir tidak masuk ke
perkampungan. Kampung ini setiap tahun mengalami kebanjiran akibat
luapan dua sungai, sungai mayang dan sungai curahnongko. Semoga ini
adalah banjir yang terakhir buat mereka.
Dari si empunya rumah saya juga mengerti, yang mereka inginkan saat ini
(skala terdekat) adalah menguras sumur dan memberinya kaporit. “Biasanya memang begitu Mas”, begitu ucap tuan rumah. Ucapan yang benar benar pasrah tulus, tanpa ada kesan dibuat buat agar terlihat tegar.
Entahlah, mendengar kata kata mereka, dan melihat cara mereka dalam
menyambut datangnya banjir (tahunan), saya jadi merasa malu. Selama ini,
entah disengaja maupun tidak, saya sering mengeluhkan cuaca. Manakala
panas terik menghunjam, saya resah. Manakala hujan datang disertai
angin, saya mengeluhkan atap rumah yang bocornya kadang berpindah (habis
diperbaiki bocor lagi).
Ah, saya teringat pesan pendek di hape yang dikirmkan oleh seorang teman. Begini bunyinya.
Tuhan tidak pernah menjanjikan bahwa langit selalu biru, bunga
selalu mekar, dan matahari selalu bersinar. Tapi ketahuilah bahwa Tuhan
selalu memberi pelangi di setiap badai, senyum di setiap air mata,
berkah di setiap cobaan, dan jawaban di setiap doa. Jangan pernah
menyerah, teruslah berjuang. Hidup ini begitu indah. Hidup harus
memiliki suatu tujuan pasti. Serta lakukan semua dengan TULUS dan IKHLAS
Iya, benar sekali. Tuhan tidak pernah menjanjikan bahwa langit selalu
biru dan cuaca selalu cerah. Yang harus kita lakukan adalah mencintai
alam sekitar semampu yang kita bisa, dan mempersiapkan hati atas apa
saja yang akan terjadi. Semoga kita bisa memetik pelajaran dari semua
ini.







0 komentar:
Posting Komentar